Transisi kekuasaan di Suriah menuju pemerintahan baru pasca-perang bukan sekadar soal politik, tapi melibatkan restrukturisasi sosial, ekonomi, dan kepercayaan publik yang telah lama rusak. Setelah bertahun-tahun terpecah, dua pemerintahan oposisi utama di utara Suriah—pemerintahan penyelamat (Salvation Government) yang berbasis di Idlib dan pemerintahan interim (Syrian Interim Government) yang bermarkas di Azaz—akhirnya dibekukan. Keputusan ini mengakhiri masa dualisme administrasi yang sempat mapan dengan struktur birokrasi, sistem moneter, bahkan aturan perundangan sendiri.
Pembekuan dua pemerintahan tersebut membuat ribuan pengungsi di kamp-kamp utara harus menyesuaikan diri. Banyak dari mereka yang akhirnya kembali ke wilayah asal, sebagian ke Damaskus dan selatan Suriah, yang kini dikelola oleh pemerintahan transisi. Ini memicu pergeseran demografis dan tekanan baru terhadap pelayanan publik di wilayah pusat dan selatan. Ketersediaan air, listrik, dan fasilitas kesehatan belum mampu menjawab arus balik yang terus meningkat.
Kedua pemerintahan sebelumnya telah memiliki sistem keuangan semi-independen. SIG bahkan sempat struktur keuangan mapan berdasarkan lira Turki, sementara SG menggunakan donasi internasional yang dikelola dengan sistem syariah. Penggabungan ke dalam struktur transisi Damaskus idealnya menjadi kekuatan keuangan tambahan. Namun, absennya transparansi dan potensi konflik internal dikhawatirkan akan mengulang kegagalan masa lalu.
Perbandingan dengan India pasca-kemerdekaan cukup relevan. Pembubaran kekuasaan raja-raja lokal seperti Nizam Hyderabad yang dilakukan secara cepat justru menyebabkan stagnasi ekonomi regional, memperlemah struktur negara baru secara keseluruhan. Suriah kini dihadapkan pada dilema serupa: apakah akan menyerap semua struktur lama dengan cepat, atau menempuh jalur kompromi dan pelan yang memungkinkan adaptasi lebih mulus?
Tiongkok yang dikenal otoriter pun bersikap hati-hati saat memasukkan Hong Kong ke dalam sistemnya usai sewa Inggris berakhir. Beijing menjaga sistem hukum dan ekonomi tersendiri di wilayah itu melalui kerangka “satu negara dua sistem” yang berlangsung selama dua dekade lebih. Hal ini menjadi pelajaran bahwa transisi yang terburu-buru sering kali memunculkan resistensi sosial yang lebih besar daripada manfaat jangka pendeknya.
Pemerintahan transisi di Damaskus tidak hanya bertugas mengganti rezim Bashar Al Assad, tetapi juga menghidupkan kembali kawasan yang hancur total. Infrastruktur di Aleppo, Homs, hingga Daraa masih belum layak huni. Sekolah, rumah sakit, pasar, bahkan jalur distribusi pangan sebagian besar bergantung pada organisasi bantuan asing. Ketergantungan ini harus segera digantikan dengan sistem ekonomi lokal yang kuat, inklusif, dan bersih dari korupsi.
Selain sektor fisik, tantangan transisi Suriah juga menyentuh aspek keadilan sosial. Ribuan korban perang belum mendapat keadilan, pengadilan transisional belum terbentuk, dan luka sejarah masih menganga. Masyarakat korban penahanan, penyiksaan, dan penghilangan paksa selama rezim Assad menuntut rekonsiliasi dan pengakuan negara, bukan sekadar pembangunan infrastruktur.
Sementara itu, aktor-aktor regional seperti Israel, AS, Rusia dll masih mempertahankan pengaruhnya. Israel malah menambah pendudukannya atas wilayah Suriah di Quneitra dekat Dataran Tinggi Golan yang juga merupakan tanah sah Suriah. Keputusan-keputusan strategis pemerintahan baru sering kali dikalkulasi berdasarkan reaksi negara-negara sponsor ini. Hal ini menyulitkan proses penyatuan nasional dan memperlambat pembentukan identitas politik baru yang bebas dari campur tangan asing.
Dinamika kelompok milisi SDF, pendukung Assad dll yang sebelumnya terlibat dalam konflik juga belum sepenuhnya teratasi. Sebagian di antaranya masih memegang senjata, belum mau tunduk pada otoritas Damaskus. Beberapa mantan komandan bahkan mengincar posisi politik dalam struktur baru, memicu ketakutan akan kembalinya politik bersenjata di masa damai.
Selain itu, belum ada kerangka hukum yang jelas dalam hal redistribusi kekuasaan antar wilayah. Wilayah Kurdi di timur laut masih mempertahankan otonomi administratifnya, menolak sepenuhnya tunduk pada Damaskus. Ketidakhadiran sistem federal yang mengakui keunikan wilayah ini berpotensi menimbulkan konflik baru, terutama jika aspirasi lokal tidak diakomodasi dalam konstitusi mendatang.
Rehabilitasi ekonomi menjadi isu krusial lain. Banyak warga yang kehilangan tanah dan rumah selama perang. Jika tidak ada sistem ganti rugi dan hak milik yang jelas, potensi konflik horizontal akan meningkat. Tanpa program nasional untuk pemulihan ekonomi keluarga, transisi hanya akan dinikmati elit dan bekas milisi.
Sektor pendidikan yang sempat lumpuh selama konflik kini menghadapi generasi anak-anak tanpa akses literasi dasar. Kurikulum yang berlaku pun masih menggunakan narasi lama, belum disesuaikan dengan semangat rekonsiliasi dan kebangsaan yang inklusif. Ini merupakan bom waktu bagi kohesi sosial Suriah dalam 10–20 tahun ke depan.
Masalah lain adalah keamanan internal. Banyak wilayah kosong kekuasaan yang sebelumnya dikendalikan oleh kelompok-kelompok di kuar kendali Damaskus. Jika tak segera diisi dengan aparat sipil, lembaga lokal, dan infrastruktur hukum, maka kelompok sakit hati bisa kembali menguasai wilayah itu, memanfaatkan kekosongan untuk memperkuat posisi.
Sistem distribusi bantuan juga perlu dirombak. Selama ini, banyak wilayah hanya bisa bertahan hidup berkat aliran logistik dari lembaga asing. Pemerintah transisi harus menciptakan sistem distribusi nasional yang mampu menjangkau desa-desa terpencil dan memastikan keadilan logistik.
Di tingkat politik, belum ada kesepakatan final tentang siapa yang akan memimpin negara setelah masa transisi selesai. Perebutan posisi di Dewan Transisi Nasional bahkan sempat menyebabkan keretakan internal. Jika hal ini dibiarkan, stabilitas politik pasca-Assad bisa berubah menjadi konflik elite baru.
Di sisi lain, masyarakat sipil mulai bangkit. Lembaga swadaya masyarakat, kelompok pemuda, hingga komunitas pengajar sudah mulai aktif menyusun program literasi demokrasi dan kewarganegaraan. Potensi ini harus dijadikan kekuatan utama, bukan dimarjinalkan seperti pada masa sebelumnya.
Dukungan internasional juga kian mengendur. Banyak negara donor mulai beralih ke isu-isu baru seperti konflik Laut Merah dan krisis Ukraina. Pemerintah transisi harus mampu meyakinkan dunia bahwa Suriah baru layak untuk diinvestasikan secara jangka panjang, baik secara ekonomi maupun politik.
Transisi Suriah, jika gagal dikelola secara inklusif dan sabar, bisa menjadi pengulangan dari kegagalan Libya dan Yaman. Namun jika mampu mengelola keberagaman, luka sejarah, dan dinamika lokal secara arif, Damaskus baru bisa menjadi titik tolak bagi perdamaian abadi di jantung Timur Tengah.


Tidak ada komentar
Posting Komentar