Apakah Jika Nomenklatur Jabatan Sekda Kabupaten/Kota Diubah Menjadi Perdana Menteri/Chief Minister akan Buat Indonesia Maju?

Sejak adanya UU Otonomi Daerah maka secara politik Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebenarnya sudah menganut sistem 'Quasi-Federalisme' dan gabungan presidensil dan parlementer.

Hal itu terlihat bahwa kabupaten dan kota telah memiliki hak otonomi yang lebih besar kecuali di daerah khusus seperti Jakarta, Aceh, Papua, Papua Barat dan Yogyakarta. (Baca selengkapnya)

Jika dilihat dari perbandingan politik, Indonesia kira-kira mirip dengan India yang setengah federal dan setengah lagi kesatuan.

Hanya saja otonomi di India terletak pada negara bagian atau state dipimpin oleh Chief Minister (Menteri Besar) sementara di Rusia, Australia dan lain sebagainya menggunakan istilah Prime Minister/Premier (Perdana Menteri).

Belakangan terdapat usulan agar pilkada atau pemilihan kepala daerah dihapuskan saja untuk menghemat anggaran dan tidak memberatkan keuangan pusat.

Hasil penghematan dapat dialihkan untuk BPJS, mengurangi pajak atau bahkan untuk membangun roket antariksa yang bisa membuat bangga Indonesia.


Jadi kelak hanya ada pemilu langsung untuk presiden (Pilpres), DPR pusat dan DPRD Kabupaten Kota yang sifatnya nasional.

Itupun masih bisa dilakukan efisiensi jika menggunakan sistem e-voting yang bisa diterapkan secara bertahap pada level pemilihan Ketua RT maupun Kepala Desa.

Menurut Julkifli Marbun, pemerhati politik nasional, jabatan Sekda di Kabupaten/Kota diubah saja namanya menjadi Perdana Menteri (Prime Minister) atau Menteri Besar (Chief Minister) yang ditunjuk oleh DPRD terpilih. Dengan demikian Kadis atau Kepala Dinas juga diubah menjadi Menteri Daerah.

DPRD dapat melakukan reshuffle jika dianggap 'kabinet daerah' tersebut tidak optimal bekerja.


Dengan demikian DPRD mempunyai target kerja yang nyata di daerahnya.

Walaupun terjadi perubahan nama, penghasilan dan tunjangan Sekda yang menjadi Perdana Menteri atau Chief Minister itu tetap karena disesuaikan dengan APBD masing-masing. Dan posisinya tetap PNS walau tidak lagi menjabat. Walau begitu teknokrat bisa diangkat menduduki posisi tersebut sebagai bagian dari birokrat.

Itu alternatif pertama. Alternatif kedua adalah posisi Walikota dan Bupati tetap ada dan dipilih dalam Pilkada sebagaimana biasanya.

Namun Bupati dan Walikota terpilih mengajukan calon Sekda yang akan menduduki sebagai Perdana Menteri atau Chief Minister atas persetujuan DPRD.

Alternatif kedua ini lebih moderat karena tidak langsung menghapus Pilkada Kabupaten dan Kota tapi cukup efisien mengurangi anggaran Pilkada.

Alternatif berikutnya adalah penghapusan perangkat provinsi termasuk DPRD Provinsi dan menghilangkan pilgub/pemilihan gubernur langsung.

Dengan menghilangkan perangkat provinsi, asetnya dikembalikan ke negara dalam hal ini pemerintaha pusat.

Sementara itu untuk pejabat gubernur dapat dirampingkan menjadi hanya wakil pemerintah pusat di daerah karena diangkat dan diganti oleh Presiden atau Kementerian Dalam Negeri.

Kira-kira seperti Dubes pusat di daerah dengan staf dan KRT tidak lebih dari dua puluh orang, jadi lebih hemat biaya.

Bisa saja dibuat sebuah wewenang kepada Bupati/Walikota jika masih ada atau Perdana Menteri daerah untuk memberikan mosi tidak percaya atau 'persona non grata' jika dirasa pejabat gubernur sebagai wakil pusat dianggap kurang layak. 

Presiden dapat menerima atau menolak usulan tersebut atau membuat mekanisme voting antar kepada daerah untuk mengganti pejabat gubernur tersebut.

Dengan demikian, selain untuk penghematan luar biasa anggaran pemerintah, perampingan ini juga dapat mengurangi potensi konflik khususnya untuk daerah yang masih memiliki bahaya 'politik pemekaran' karena posisi Gubernur tidak elit lagi.

Walau begitu jabatan gubernur masih dipandang perlu ada khususnya untuk mengkoordinasikan Polda dan Kodam (yang bisa saja tetap dipertahankan struktur dan fungsinya) dari hal-hal yang sifatnya ancaman negara seperti separatisme dan sabotase daerah dari ormas-ormas preman seperti bandar narkoba.

Gubernur juga masih menjadi wakil pemerintah pusat untuk seremonial dengan konsulat dan wewenang lainnya yang tidak dipegang oleh pemerintahan daerah.

Gubernur juga dapat melakukan koordinasi pembangunan antar 'perdana menteri' atau 'chief minister' Kabupaten Kota bersama Bupati dan Walikota jika masih ada.

Jika sistem ini diterapkan, Indonesia tetap menjadi negara kesatuan tapi dengan penerapan 'quasi federalisme' yang lebih baik. Karena bagaimanapun juga dengan adanya otonomi daerah quasi federalisme itu sudah tidak bisa dihindarkan namun tak perlu kembali ke sisten Republik Indonesia Serikat (RIS) yang pernah gagal dilakukan saat awal kemerdekaan.



Tidak ada komentar

Posting Komentar

Beranda