Ilmu Laklak Batak: Bukan Perdukunan, Tapi Pengetahuan Lama


Sejarah mencatat perjumpaan dua peradaban yang berbeda di Tanah Batak, di mana satu pihak datang dengan superioritas teknologi dan militer, sementara pihak lain memegang teguh kearifan lokal yang telah diwarisi turun-temurun. Salah satu warisan berharga tersebut adalah laklak, atau pustaha laklak, kitab kuno yang ditulis di atas kulit kayu dan menjadi jendela menuju khazanah intelektual nenek moyang suku Batak.

Sayangnya, pada masa kolonial Belanda, isi laklak kerap disalahartikan dan dicap sebagai praktik perdukunan atau ilmu sihir, sebuah tuduhan yang tidak hanya merendahkan, tetapi juga jauh dari kebenaran.

Anggapan keliru ini, yang disebarluaskan oleh para orientalis dan misionaris pada masanya, menciptakan stigma negatif terhadap tradisi dan pengetahuan Batak.

Mereka, yang seringkali tidak memahami konteks budaya dan filosofi di balik tulisan laklak, terlalu mudah menarik kesimpulan yang dangkal. Padahal, jika ditelaah lebih dalam, laklak adalah manifestasi dari ilmu pengetahuan praktis dan kearifan hidup yang relevan dengan zamannya, bukan kumpulan mantra sihir untuk menipu atau mengelabui.

Pustaha laklak, yang ditemukan dalam berbagai sub-suku Batak seperti Toba, Simalungun, Mandailing, Pakpak, dan Karo, memiliki kemiripan format namun dengan variasi dialek dan fokus isi. Masing-masing laklak adalah cerminan dari kebutuhan dan tantangan hidup masyarakat Batak pada era tersebut. Ia adalah ensiklopedia mini yang memuat beragam informasi penting, dirangkum secara ringkas dan padat.

Salah satu bukti kuat yang membantah tuduhan perdukunan adalah isi laklak yang sarat dengan astronomi atau porhalaan.

Bagian ini memuat perhitungan waktu, penanggalan, ramalan cuaca berdasarkan pergerakan benda langit, serta penentuan hari baik untuk berbagai aktivitas seperti bercocok tanam, membangun rumah, atau memulai perjalanan. Ilmu ini adalah bentuk adaptasi terhadap lingkungan dan upaya untuk mengatur kehidupan sehari-hari berdasarkan pola alam, sebuah praktik yang umum di banyak peradaban kuno.

Selain astronomi, laklak juga banyak membahas tentang pengobatan. Bagian ini merinci berbagai jenis penyakit, bahan-bahan herbal yang digunakan sebagai obat, serta cara meramu dan mengaplikasikannya. Resep-resep pengobatan tradisional ini adalah hasil observasi empiris dan eksperimen yang telah dilakukan selama berabad-abad.

Mereka mencerminkan pemahaman mendalam tentang khasiat alam dan anatomi sederhana tubuh manusia, jauh dari praktik mistis yang tidak berdasar.

Yang tak kalah penting adalah keberadaan nasihat-nasihat dalam ilmu praktis keseharian di dalam laklak. Nasihat ini bisa berupa etika bermasyarakat, strategi perang, cara berburu, hingga tata cara adat dan ritual. Semua ini adalah panduan hidup yang membantu masyarakat Batak menjaga harmoni sosial, bertahan hidup, dan melestarikan nilai-nilai budaya mereka. Ini adalah bentuk pendidikan yang diturunkan dari generasi ke generasi, bukan doktrin gaib yang menyesatkan.

Menariknya, seiring dengan masuknya agama Islam ke Tanah Batak, banyak laklak yang kemudian menyebutkan nama Allah dan Muhammad. Hal ini jelas menunjukkan bahwa isi laklak tidaklah statis dan tertutup, melainkan terbuka terhadap pengaruh dan asimilasi budaya baru. Penyebutan nama-nama suci dalam Islam ini adalah bukti konkret bahwa laklak dapat beradaptasi dan berintegrasi dengan nilai-nilai keagamaan yang baru, menggeser pemahaman murni animisme menuju monoteisme. Ini juga menjadi bantahan telak terhadap anggapan bahwa laklak semata-mata produk kekafiran atau paganisme.

Fenomena ini sejatinya tidak berdiri sendiri dalam sejarah intelektual Nusantara. Jika kita menilik kitab-kitab karangan ulama Aceh yang ditulis dalam bahasa Melayu, seperti karya-karya Al-Raniry atau Hamzah Fansuri, kita akan menemukan paralel yang menarik. Kitab-kitab mereka memang sebagian berisi ilmu mujarrobat, yaitu kumpulan resep dan amalan untuk berbagai keperluan, termasuk pengobatan dan spiritualitas. Namun, mereka juga sarat dengan nasihat hidup dan ajaran agama yang mendalam.

Kenyataan bahwa penulis laklak bisa saja terinspirasi dari tradisi intelektual yang berkembang di Aceh, yang notabene memiliki hubungan sejarah dan perdagangan dengan Batak, adalah hal yang sangat mungkin. Ini menunjukkan adanya pertukaran ide dan pengetahuan yang dinamis di antara pusat-pusat kebudayaan Nusantara. Ilmu mujarrobat atau "ilmu praktis" ini bukanlah perdukunan, melainkan bentuk aplikasi pengetahuan yang berakar pada observasi dan keyakinan spiritual, yang pada masa itu dianggap valid dan bermanfaat.

Bahkan, jika kita melihat lebih jauh ke belakang, buku-buku tabib atau Tibbun Nabawi (pengobatan ala Nabi) yang populer di masa lalu, meskipun tidak sepenuhnya selaras dengan ilmu kedokteran modern yang berbasis riset ilmiah ketat, sejatinya bukanlah hal yang salah. Justru, dalam banyak hal, itulah dasar ilmu kedokteran modern. Observasi klinis awal, penggunaan herbal, dan pemahaman tentang kebersihan serta diet, yang seringkali tercantum dalam kitab-kitab kuno tersebut, menjadi benih bagi perkembangan ilmu medis selanjutnya.

Demikian pula halnya dengan laklak. Ia adalah cikal bakal ilmu pengetahuan di Tanah Batak, sebuah fondasi yang mencerminkan upaya masyarakat dalam memahami dan menguasai lingkungan mereka. Tuduhan perdukunan adalah distorsi sejarah yang harus diluruskan.

Laklak adalah monumen intelektual, bukti kecerdasan nenek moyang yang berusaha menafsirkan alam semesta, menyembuhkan penyakit, dan membimbing kehidupan dengan kearifan. Oleh karena itu, sudah saatnya kita menempatkan laklak pada posisi yang seharusnya: sebagai warisan berharga yang kaya akan ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan, bukan sebagai objek tuduhan yang tak berdasar.

Tidak ada komentar

Posting Komentar

Beranda