JAWA BARAT - SURIAH, Dua wilayah berbeda benua, berbeda budaya, dan berbeda sistem pemerintahan. Namun, menarik jika membandingkan tantangan yang dihadapi dua pemimpin di masing-masing tempat. Di Indonesia, Gubernur Jawa Barat Dedy Mulyadi dihadapkan pada persoalan pelik, terutama soal sampah dan pelayanan publik. Di sisi lain, Presiden baru Suriah, Ahmad Al Sharaa, menghadapi tugas maha berat: membangun kembali negara yang hancur akibat perang panjang.
Populasi Jawa Barat pada 2025 diperkirakan mencapai lebih dari 50 juta jiwa, menjadikannya provinsi terpadat di Indonesia. Bandingkan dengan Suriah, yang populasinya pasca-konflik menurun tajam menjadi sekitar 18 juta jiwa. Secara angka, beban populasi yang harus dilayani Dedy Mulyadi jauh lebih besar dibanding Ahmad Al Sharaa.
Namun, bukan hanya soal jumlah penduduk. Tingkat kerumitan persoalan yang dihadapi juga harus dilihat dari perspektif sosial, ekonomi, dan politik. Gubernur Dedy Mulyadi menghadapi permasalahan lingkungan akut, terutama soal sampah, yang terus menumpuk di kota-kota besar seperti Bandung dan Bekasi. Protes warga sekitar TPA Sarimukti menjadi tekanan tersendiri, belum lagi minimnya kesadaran publik soal pengelolaan sampah.
Ahmad Al Sharaa di Suriah menghadapi tantangan yang berbeda namun tidak kalah rumit. Ia harus menangani negara yang infrastruktur fisiknya porak poranda, perekonomiannya lumpuh, dan masyarakatnya terbelah oleh konflik panjang. Selain itu, Suriah juga masih menjadi medan tarik-menarik kepentingan negara besar seperti Rusia, Iran, dan Amerika Serikat.
Stamina politik menjadi hal penting bagi kedua pemimpin. Dedy Mulyadi, yang dikenal dengan gaya blusukannya dan retorika yang tajam, harus bisa konsisten dalam mencari solusi jangka panjang bagi pengelolaan sampah, perumahan, dan transportasi publik. Tidak cukup hanya pidato dan wacana, Dedy harus mampu menggerakkan birokrasi dan merangkul masyarakat.
Sementara itu, Ahmad Al Sharaa, yang naik ke tampuk kekuasaan pasca transisi politik, harus memiliki ketahanan dalam menghadapi tekanan dari dalam dan luar negeri. Upaya rekonsiliasi nasional, pemberdayaan ekonomi, dan pembangunan ulang infrastruktur menjadi prioritas utama. Tanpa itu, Suriah bisa kembali terjebak dalam kekacauan.
Salah satu perbedaan mendasar adalah kondisi politik. Jawa Barat, bagian dari Indonesia yang demokratis, masih stabil secara politik, meski dinamika lokal kerap panas. Suriah, sebaliknya, baru keluar dari konflik berdarah, sehingga keamanan dan kestabilan politik masih rapuh.
Namun, keduanya memiliki satu kesamaan: butuh skenario kepemimpinan yang efektif. Untuk Dedy Mulyadi, skenario sukses adalah dengan mempercepat transformasi kebijakan lingkungan—termasuk membangun sistem daur ulang modern, memperkuat kerja sama antar kota/kabupaten, dan membangun budaya sadar sampah di masyarakat.
Bagi Ahmad Al Sharaa, skenario sukses lebih kompleks. Ia harus memprioritaskan rekonsiliasi politik nasional. Tanpa kesatuan, tidak akan ada pembangunan. Ia juga harus membangun kepercayaan rakyat melalui reformasi, serta memperkuat hubungan diplomatik untuk mendapatkan bantuan luar negeri.
Tingkat kerumitan masing-masing tugas sangat berbeda. Dedy Mulyadi menghadapi masalah yang "berisik" di media dan publik, namun relatif lebih bisa dikendalikan secara sistematis. Ahmad Al Sharaa menghadapi tantangan struktural dan historis, yang memerlukan waktu panjang dan diplomasi tingkat tinggi.
Secara administratif, Jawa Barat sudah memiliki sistem yang mapan. Ada DPRD, APBD, dan jaringan birokrasi yang cukup solid. Suriah justru mengalami kehancuran administratif. Banyak daerah yang belum sepenuhnya berada di bawah kontrol pemerintah pusat, dan masih ada sisa-sisa kelompok bersenjata.
Di sisi lain, kelebihan Ahmad Al Sharaa adalah ia bisa membentuk ulang sistem dari awal, sesuatu yang sulit dilakukan di Jawa Barat. Dedy Mulyadi harus bekerja dalam sistem yang sudah ada, dengan segala keterbatasannya. Perubahan radikal sulit dilakukan tanpa konsensus politik dan dukungan pusat.
Dalam hal komunikasi, Dedy Mulyadi unggul. Ia paham media sosial, sering turun ke lapangan, dan membangun narasi yang dekat dengan rakyat. Al Sharaa masih belum menunjukkan gaya komunikasi yang jelas, dan cenderung berhati-hati karena situasi politik yang sensitif.
Keberhasilan Dedy Mulyadi diukur dari perbaikan layanan publik, pengurangan sampah, dan penurunan angka kemiskinan di provinsinya. Keberhasilan Ahmad Al Sharaa diukur dari stabilitas nasional, pembangunan ulang, dan kembalinya pengungsi ke Suriah.
Jika keduanya mampu menjalankan skenario sukses mereka, maka Dedy Mulyadi akan dikenang sebagai gubernur yang berhasil mengubah wajah Jawa Barat menjadi provinsi hijau dan bersih. Ahmad Al Sharaa bisa tercatat dalam sejarah sebagai pemimpin yang memulihkan kehormatan dan kedaulatan Suriah.
Tentu saja, jalan mereka masih panjang. Baik Dedy maupun Al Sharaa dituntut untuk terus belajar, beradaptasi, dan tidak kehilangan arah. Kepemimpinan bukan hanya soal visi, tapi soal konsistensi dan keteguhan dalam menghadapi badai.
Akhirnya, publik akan menilai bukan dari janji-janji, tapi dari hasil nyata. Mampukah keduanya memenuhi harapan rakyat? Waktu yang akan menjawab.
Dibuat oleh AI
Tidak ada komentar
Posting Komentar