Pertemuan Prabowo-MBS Bisa Jadi Awal Lompatan Pertahanan


Pertemuan bilateral antara Presiden RI Prabowo Subianto dan Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman (MBS) di Istana Al-Salam, Jeddah, pada 2 Juli 2025, membuka ruang strategis yang dapat dimanfaatkan Indonesia untuk mengusulkan babak baru dalam kerja sama industri pertahanan. Meskipun fokus utama pertemuan tersebut adalah penguatan kemitraan ekonomi dan energi, momentum ini sangat tepat untuk mulai merancang kerja sama pertahanan yang saling menguntungkan, khususnya dalam bidang teknologi militer dan produksi bersama.

Sebagai dua negara besar di dunia Islam, Indonesia dan Arab Saudi memiliki kesamaan kepentingan dalam memperkuat kemandirian militer di tengah ketegangan geopolitik global yang makin kompleks. Saudi yang tengah mendorong diversifikasi ekonomi melalui Visi 2030, sudah mulai menaruh perhatian besar pada pembangunan industri pertahanan dalam negeri. Di sisi lain, Indonesia juga sedang menata kembali arah pengembangan alat utama sistem persenjataan (alutsista) melalui sinergi BUMN dan swasta.

Pertemuan Prabowo dan MBS bisa dijadikan batu loncatan untuk membentuk forum dialog lanjutan khusus sektor pertahanan. Dalam skema ini, Indonesia dapat mengusulkan kerja sama di berbagai bidang strategis seperti pengembangan drone tempur, amunisi canggih, sistem pertahanan udara, dan teknologi laut. Tak hanya melibatkan BUMN seperti PT Pindad dan PT Dahana, tetapi juga perusahaan pertahanan swasta seperti Republikorp, Sarua Bahari, dan lainnya yang telah menunjukkan kapasitas inovatif.

Selama ini, kerja sama pertahanan Indonesia lebih banyak terfokus pada negara-negara seperti Korea Selatan, Turki, dan Prancis. Namun melihat posisi Arab Saudi sebagai mitra ekonomi utama di Timur Tengah dan kapasitas finansialnya yang besar, sangat wajar bila Indonesia mulai merintis jalur kemitraan pertahanan yang lebih terstruktur dengan Riyadh. Potensi ini belum dimanfaatkan maksimal dan bisa menjadi keunggulan diplomatik baru RI.

Arab Saudi juga tengah mengembangkan ekosistem industri drone dan teknologi persenjataan ringan. Pengalaman Indonesia dalam pengembangan drone MALE dan sistem kendaraan taktis bisa menjadi pelengkap dalam upaya Riyadh untuk mengurangi ketergantungan pada produsen Barat. Bahkan, joint venture produksi drone dan kendaraan lapis baja di Indonesia untuk pasar ASEAN dan Timur Tengah sangat memungkinkan bila ada kesepakatan politik yang mendukung.

PT Pindad sendiri telah membuka jalur awal kerja sama dengan perusahaan Alfanar dari Saudi, yang ditandai dengan penandatanganan MoU pada akhir 2023. Namun, kerja sama ini masih terbatas dan belum merambah sektor-sektor yang sangat strategis seperti munisi pintar, sistem peluncur roket, dan drone serang. Pertemuan Prabowo-MBS bisa menjadi titik awal untuk memperluas cakupan kemitraan tersebut ke tahap lebih tinggi.

Pemerintah Indonesia bisa mengusulkan pembentukan "Komite Strategis Pertahanan RI-Saudi" sebagai wadah koordinasi lintas lembaga yang membahas alur investasi, transfer teknologi, pelatihan, hingga rencana ekspor bersama produk militer. Komite ini juga bisa menjadi sarana diplomasi pertahanan dua negara yang bersifat jangka panjang dan tidak tergantung pada perubahan pemerintahan.

Dengan adanya komitmen dan visi bersama, Saudi dapat menanamkan investasi langsung pada kawasan industri pertahanan nasional yang sedang dirancang oleh Kementerian Pertahanan. Kawasan ini bisa menjadi pusat kolaborasi riset, pabrikasi, dan integrasi sistem militer Indonesia-Arab Saudi, sekaligus memperluas rantai pasok industri militer dunia Islam.

Industri strategis seperti PT Dahana yang fokus pada bahan peledak dan sistem propulsi dapat ditawarkan sebagai bagian dari ekosistem ini. Saudi yang juga tengah mengembangkan rudal pertahanan dan sistem senjata presisi tinggi, bisa menjadikan pengalaman Dahana sebagai mitra yang menguntungkan untuk produksi bersama di wilayah yang membutuhkan efisiensi biaya dan adaptasi terhadap medan tropis.

Perusahaan swasta seperti Republikorp juga memiliki potensi besar dalam kolaborasi teknologi tinggi, khususnya di bidang drone serang dan sistem otonom berbasis kecerdasan buatan. Teknologi semacam ini menjadi fokus Arab Saudi dalam reformasi militernya, dan dapat dikembangkan lebih cepat melalui fasilitas produksi dan uji coba di Indonesia.

Tidak hanya soal produksi, kemitraan pertahanan ini juga dapat mencakup pertukaran tenaga ahli, pelatihan militer, serta integrasi sistem informasi pertahanan. Indonesia dan Arab Saudi sama-sama memiliki kebutuhan akan peningkatan kapasitas personel dan adopsi teknologi militer generasi baru untuk menghadapi ancaman multidimensi.

Usulan kerja sama ini juga dapat menjadi bagian dari kerangka kerja sama dunia Islam yang lebih luas. Indonesia dapat memposisikan dirinya sebagai pemimpin inisiatif pertahanan global Selatan dengan menggandeng Arab Saudi sebagai kekuatan ekonomi yang siap menjadi sponsor utama industrialisasi militer umat Islam yang mandiri.

Dengan terus meningkatnya ketegangan di Laut Cina Selatan, Timur Tengah, dan kawasan Afrika Utara, dunia Islam membutuhkan aliansi strategis yang tidak hanya bergantung pada pasokan alutsista dari Barat. Di sinilah Indonesia dan Arab Saudi dapat memainkan peran penting sebagai pemimpin peradaban modern yang tangguh, berbasis teknologi, namun berakar pada kedaulatan politik masing-masing.

Pertemuan antara Prabowo dan MBS adalah momentum langka. Bila ditindaklanjuti secara serius, ini bukan sekadar diplomasi ekonomi biasa, tetapi dapat menjadi awal dari perubahan lanskap pertahanan dunia Islam ke arah yang lebih mandiri dan berdaulat. Inilah saatnya Indonesia mengusulkan sesuatu yang lebih dari sekadar dagang—yakni membangun masa depan pertahanan bersama.

Tentu, segala bentuk kerja sama strategis harus diawali dengan studi kelayakan yang matang dan dialog teknis yang intensif. Namun dari sisi geopolitik dan potensi ekonomi, tidak ada alasan untuk menunda. Investasi Saudi di industri pertahanan Indonesia tidak hanya masuk akal, tapi sudah selayaknya diupayakan sejak sekarang.

Indonesia kini berada pada persimpangan penting dalam sejarah industrinya. Dengan dukungan dari mitra strategis seperti Arab Saudi, negara ini bisa melompat lebih jauh, tidak hanya sebagai pembeli senjata, tetapi sebagai produsen pertahanan regional yang disegani. Titik awalnya bisa saja telah dimulai di ruang pertemuan Al-Salam Palace. Tinggal bagaimana arah itu digarap dengan cerdas.


Baca selanjutnya

Tidak ada komentar

Posting Komentar

Beranda