Update Suriah: Restrukturisasi Kekuasaan dan Bayang-Bayang Kepentingan Asing


Gejolak politik di Suriah semakin menunjukkan kompleksitasnya, dengan narasi yang berkembang bahwa restrukturisasi yang didorong oleh Utusan Khusus AS, Thomas Brack, sejatinya merupakan upaya untuk mendistribusikan jabatan kepada kelompok-kelompok oposisi yang memiliki keterkaitan erat dengan Israel. 

Peristiwa-peristiwa terkini, terutama yang melibatkan komunitas Druze dan Pasukan Demokratik Suriah (SDF), tidak lagi hanya dipandang sebagai konflik internal semata, melainkan sebagai manifestasi dari perebutan pengaruh yang lebih luas.

Kematian Hussam Saraya, seorang warga negara AS keturunan Suriah, di tengah kerusuhan di Sweida, telah memicu pertanyaan serius tentang stabilitas di wilayah tersebut. Dalam konteks ini, desakan Thomas Brack agar Presiden Ahmed Al-Shara mempertimbangkan kembali restrukturisasi tentara Suriah dan membentuk pemerintah yang lebih inklusif, khususnya dalam mengintegrasikan minoritas, kini ditafsirkan sebagai dorongan strategis.

Banyak pihak meyakini bahwa "integrasi minoritas" ini secara implisit merujuk pada pemberian posisi kunci kepada kelompok-kelompok oposisi yang telah lama menjalin hubungan dengan Israel.

Interpretasi ini semakin menguat mengingat penolakan Brack terhadap laporan pelanggaran pasukan keamanan Suriah terhadap warga sipil Druze, serta pernyataannya bahwa pejuang pemerintah tidak berada di Sweida karena adanya kesepakatan dengan Israel. Pernyataan-pernyataan ini secara tidak langsung mengindikasikan adanya skema yang lebih besar di mana kepentingan Israel turut bermain dalam penentuan struktur kekuasaan di Suriah.

Meskipun Menteri Informasi Suriah, Hamza Al-Mustafa, berusaha menepis kekhawatiran dengan menegaskan bahwa masuknya pasukan ke Sweida adalah respons terhadap seruan sipil untuk menjaga stabilitas, narasi tentang pembagian jabatan tetap kuat. Muncul kekhawatiran bahwa restrukturisasi yang diusulkan ini bukanlah tentang reformasi yang tulus, melainkan tentang pengukuhan posisi bagi faksi-faksi tertentu yang sejalan dengan agenda geopolitik eksternal.

Laporan tentang evakuasi warga sipil dan upaya bantuan kemanusiaan oleh PBB di Sweida, meskipun tampak sebagai respons terhadap krisis, juga dapat dilihat dalam konteks perebutan kendali wilayah dan pengaruh. Siapa yang mengontrol populasi dan sumber daya, pada akhirnya akan memiliki suara yang lebih besar dalam penentuan masa depan politik.

Pada intinya, perdebatan bergeser dari sekadar "restrukturisasi" menjadi "pembagian jabatan." Semakin banyak posisi strategis yang diduduki oleh kelompok-kelompok yang berafiliasi dengan Israel, semakin besar pula potensi pemerintah Suriah terikat pada misi neokolonialisme "Greater Israel." Ini adalah kekhawatiran yang mendalam bagi banyak pihak yang melihat kedaulatan Suriah terancam.

Kunjungan delegasi ekonomi luar ke Damaskus, meskipun menawarkan prospek investasi dan kerja sama, juga tidak luput dari pengawasan ketat. Dalam konteks yang sarat intrik politik ini, setiap langkah, baik diplomatik maupun ekonomi, dapat memiliki implikasi geopolitik yang lebih luas, berpotensi memengaruhi keseimbangan kekuasaan dan membuka jalan bagi pengaruh asing yang lebih besar.

Di Gaza, serangan udara Israel yang terus-menerus dan krisis kemanusiaan yang parah menjadi pengingat yang menyakitkan akan dampak konflik dan keterlibatan kekuatan eksternal terhadap kehidupan sipil. Meskipun berbeda konteks, situasi di Gaza memperkuat argumen tentang risiko yang dihadapi oleh negara-negara yang menjadi medan pertarungan kepentingan asing.

Kembali ke Suriah, fokus pada dorongan AS untuk restrukturisasi yang diartikan sebagai pembagian jabatan kepada oposisi terkait Israel, menunjukkan betapa rumitnya jaring-jaring kekuasaan di kawasan tersebut. Ini bukan hanya tentang reformasi internal, tetapi tentang siapa yang akan memegang kendali dan bagaimana hal itu akan memengaruhi arah kebijakan Suriah di masa depan.

Jika interpretasi ini benar, maka implikasinya sangat luas. Sebuah pemerintahan Suriah yang dibentuk melalui tekanan eksternal dan diisi oleh faksi-faksi yang loyal pada kepentingan asing dapat kehilangan legitimasi di mata rakyatnya sendiri. Hal ini dapat memicu gelombang perlawanan baru dan memperpanjang siklus ketidakstabilan, alih-alih membawa perdamaian yang diharapkan.

ilustrasi ketika rakyat akhirnya jadi penonton

Dengan demikian, restrukturisasi yang diusulkan oleh Utusan Khusus AS, Thomas Brack, kini dilihat lebih dari sekadar reformasi administratif. Ini adalah langkah strategis yang berpotensi mengubah lanskap politik Suriah secara fundamental, dengan risiko signifikan bahwa pembagian jabatan ini akan memperkuat pengaruh kelompok-kelompok yang terkait dengan Israel, dan pada akhirnya, menyeret Suriah lebih dalam ke pusaran misi neokolonialisme "Greater Israel."


Tidak ada komentar

Posting Komentar

Beranda