Wajah Awal Masjid Nusantara Tanpa Kubah


Arsitektur masjid di Nusantara mengalami evolusi panjang yang dipengaruhi oleh budaya lokal dan interaksi dengan dunia luar. Pada masa awal masuknya Islam ke kepulauan ini, masjid-masjid dibangun tanpa kubah, berbeda dari model Timur Tengah yang kini lazim ditemukan. Desain awal masjid Nusantara lebih menyerupai rumah adat, memanfaatkan kayu sebagai bahan utama dan beratap tumpang yang bersusun seperti bentuk bangunan tradisional masyarakat lokal.

Di wilayah Sumatra, dua kerajaan besar yakni Pagaruyung dan Samudera Pasai, meninggalkan jejak penting dalam perkembangan masjid tanpa kubah. Di Pagaruyung, pusat kerajaan Minangkabau, masjid dibangun dengan model rumah gadang. Atapnya menjulang ke atas dalam bentuk gonjong, memadukan fungsi tempat ibadah dengan simbol budaya lokal. Pilar-pilar kayu besar menopang atapnya, dan ruang dalamnya terbuka luas tanpa sekat, menciptakan suasana khusyuk sekaligus akrab.

Samudera Pasai sebagai pelabuhan penting di jalur perdagangan Selat Malaka juga membangun masjid tanpa kubah. Masjid-masjid di kawasan ini memiliki atap limas bersusun tiga hingga lima, mencerminkan pengaruh arsitektur lokal Aceh dan Melayu. Dindingnya terbuat dari papan atau batu bata, sedangkan lantainya kadang berupa tanah padat atau papan kayu yang ditinggikan dari tanah.

Dalam studi yang dilakukan pegiat sejarah Ridwan Selian Te, masjid atau bale masojit (bale pasogit) dan Suro era Sisingamangaraja juga meniru desain Pagaruyung dan Samudera Pasai. Ada kemungkinan salah satu bentuk rumah adat di Tanah Karo dulunya adalah masjid dengan desain Minangkabau yang dihiasi dengan simbol Tapak Nabi Sulayman AS. Bentyk rumah adat Karo itu terlihat seperti desain Masjid Raorao.

Di Jawa, masjid-masjid Walisongo menjadi tonggak penting dalam penyebaran Islam sekaligus pembentukan identitas arsitektur masjid lokal. Masjid Demak yang dibangun oleh Wali Songo merupakan contoh paling terkenal dari masjid tanpa kubah. Atapnya bertumpang tiga, meniru bentuk meru dalam arsitektur Hindu-Buddha, mencerminkan proses akulturasi antara agama lama dan Islam yang datang sebagai ajaran baru.

Masjid Demak didirikan dengan bahan-bahan lokal dan struktur sederhana. Tiang utama masjid, yang dikenal sebagai saka guru, terbuat dari kayu jati dan memiliki nilai spiritual tinggi. Salah satu saka guru bahkan diyakini terbuat dari serpihan kayu yang disatukan oleh Sunan Kalijaga. Masjid ini menjadi simbol dakwah damai dan bijaksana dari para wali dalam memperkenalkan Islam tanpa menggusur kebudayaan yang telah lama hidup.

Fenomena pengubahan candi menjadi masjid juga terjadi di beberapa tempat usai penduduk mengikuti raja-rajanya pemilik candi masuk Islam yang berlangsung secara kultural dan damai. Ketika kerajaan-kerajaan lokal dan masyarakatnya memeluk Islam, bangunan-bangunan keagamaan dari masa sebelumnya tidak dihancurkan, melainkan diadaptasi menjadi tempat ibadah baru. Proses ini terjadi, misalnya, di kawasan Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Salah satu contoh penting adalah Candi Plaosan yang beberapa bagiannya diyakini pernah dijadikan tempat ibadah oleh umat Islam setempat pada masa peralihan agama. Bangunan tersebut tidak serta merta diubah secara drastis, tetapi disesuaikan agar sesuai dengan tata cara ibadah Islam. Beberapa bagian kompleks bahkan dijadikan tempat musyawarah atau belajar agama.

Jejak Islam dalam mengubah candi menjadi masjid atau tempat ibadah lainnya menunjukkan pendekatan yang inklusif dan menghargai warisan leluhur. Islam datang ke Nusantara bukan sebagai kekuatan penghancur budaya, tetapi sebagai ajaran yang mampu merangkul peradaban sebelumnya. Oleh karena itu, masjid-masjid awal di Indonesia menyatu secara harmonis dengan lanskap budaya dan arsitektur lokal.

Bentuk atap tumpang yang bersusun menjadi ciri khas yang kuat dalam arsitektur masjid awal Nusantara. Jumlah susunan atap biasanya disesuaikan dengan tingkat keagungan atau fungsi masjid tersebut. Misalnya, masjid keraton atau masjid agung biasanya memiliki tiga hingga lima susun atap, sementara masjid kecil hanya dua atau satu.

Tidak adanya kubah pada masjid awal ini bukan karena keterbatasan teknologi, melainkan karena tradisi bangunan lokal tidak mengenal bentuk kubah. Kubah baru mulai digunakan secara luas pada masjid-masjid di Nusantara setelah kedatangan pengaruh Turki Usmani dan arsitektur Arab pada abad ke-19 hingga ke-20.

Kubah kemudian menjadi simbol universal masjid, namun hal ini tidak menghapus identitas lokal yang telah terbentuk sejak ratusan tahun sebelumnya. Masjid-masjid tua yang masih berdiri hingga kini seperti Masjid Agung Demak, Masjid Tuo Kayu Jao di Sumatra Barat, atau Masjid Bayan Beleq di Lombok, tetap mempertahankan desain awal mereka tanpa kubah.

Desain masjid awal yang berbahan kayu dan atap tumpang juga menyesuaikan dengan kondisi geografis dan iklim di Nusantara. Bentuk atap yang tinggi dan bertingkat memungkinkan sirkulasi udara yang baik dan perlindungan dari hujan tropis yang deras. Arsitektur ini mencerminkan kearifan lokal dalam membangun tempat ibadah yang tahan terhadap cuaca.

Ruang dalam masjid Nusantara juga terbuka dan luas, menyesuaikan dengan budaya gotong royong dan kebersamaan masyarakat lokal. Tidak adanya sekat dan dinding tebal membuat jamaah merasa setara dan lebih dekat satu sama lain, menciptakan suasana spiritual yang lebih akrab.

Pilar-pilar kayu yang menyangga atap masjid tidak hanya berfungsi struktural, tetapi juga memiliki makna simbolis. Beberapa tiang diberi ukiran khas daerah masing-masing, mencerminkan nilai estetika sekaligus filosofi kehidupan masyarakat setempat. Dengan demikian, masjid tidak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga pusat budaya dan pendidikan.

Jejak arsitektur masjid awal Nusantara ini menjadi bukti bahwa Islam menyebar secara damai dan menyatu dengan budaya yang telah ada. Tidak adanya kubah bukanlah kekurangan, melainkan ekspresi lokal dari universalitas Islam yang hadir melalui lensa Nusantara. Ia hadir sebagai ajaran transformatif yang tetap menghormati bentuk-bentuk lama.

Kini, dengan maraknya pembangunan masjid bergaya Timur Tengah, penting untuk kembali menengok akar sejarah masjid-masjid awal kita. Bukan untuk menolak modernitas, tetapi untuk menghargai warisan yang telah lebih dahulu tumbuh di bumi sendiri. Arsitektur lokal adalah kekayaan spiritual sekaligus identitas kebangsaan.

Upaya pelestarian masjid-masjid tua yang tanpa kubah perlu mendapat dukungan lebih luas. Selain untuk menjaga warisan sejarah, ini juga menjadi cara untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Islam di Indonesia sejak awal telah hadir dengan wajah yang damai, akomodatif, dan menghargai kebhinekaan budaya.

Melalui desain masjid yang sederhana dan menyatu dengan alam, para penyebar Islam masa lalu berhasil menanamkan nilai-nilai keislaman yang kokoh. Masjid bukan hanya tempat berdoa, tetapi juga ruang belajar, berdiskusi, dan membangun masyarakat. Warisan ini layak dirawat sebagai bagian dari sejarah besar peradaban Nusantara.

Tidak ada komentar

Posting Komentar

Beranda