Berbagai negara di dunia mengadopsi model pemerintahan yang berbeda-beda, mulai dari kolektif hingga tunggal, dari federal hingga monarki rotasi. Setiap sistem mencerminkan konteks sejarah, politik, dan sosial masing-masing negara. Analisis terbaru menunjukkan bahwa sistem kepemimpinan kolektif dan rotasi memiliki kelebihan dalam menjaga stabilitas politik, meski sering kali mengorbankan efisiensi pengambilan keputusan.
Di Bosnia dan Herzegovina, presidensi kolektif terdiri dari tiga orang yang mewakili kelompok etnis utama: Bosniak, Serb, dan Kroat. Kursi ketua presidensi bergilir setiap delapan bulan. Sistem ini dirancang untuk mencegah dominasi satu kelompok etnis dan menjaga perdamaian pasca-konflik.
European Council (EC/Dewan Eropa), badan puncak Uni Eropa, memiliki prinsip serupa. Anggotanya terdiri dari kepala negara atau kepala pemerintahan semua negara anggota, dan keputusan strategis diambil melalui konsensus. Rotasi presidensi Council selama 2,5 tahun menunjukkan kesamaan dengan sistem kolektif Bosnia dalam hal kepemimpinan yang bergilir dan fokus pada keputusan strategis.
Uni Emirat Arab, meski berbentuk federasi, memiliki struktur yang berbeda. Tujuh emirat dipimpin oleh Emir masing-masing, yang memiliki kekuasaan hampir absolut di wilayahnya. Pada tingkat federal, Presiden berasal dari Emir Abu Dhabi, sedangkan Perdana Menteri biasanya dari Emir Dubai. Sistem ini menekankan stabilitas internal melalui kesepakatan elit.
Setiap Emir dibantu oleh Crown Prince atau Putra Mahkota yang memimpin Executive Council. Executive Council ini berfungsi mirip kabinet, mengelola urusan internal emirat. Struktur ini memungkinkan keputusan di tingkat emirat cepat diambil, sementara federasi mengatur pertahanan, moneter, dan urusan luar negeri.
Malaysia memiliki sistem monarki konstitusional unik. Yang di-Pertuan Agong dipilih secara rotasi setiap lima tahun dari sembilan Sultan Melayu. Kepala pemerintahan federal tetap Perdana Menteri yang dipilih melalui parlemen. Rotasi raja lebih bersifat simbolik, menjaga keseimbangan tradisi dan legitimasi antar kesultanan.
Australia menerapkan federal parlementer. Setiap negara bagian memiliki Premier yang memimpin pemerintahan lokal dan bertanggung jawab atas pendidikan, kesehatan, dan transportasi. Di tingkat federal, PM memimpin pemerintahan nasional dengan kewenangan atas pertahanan, ekonomi makro, dan kebijakan luar negeri. Kepala negara adalah Raja Inggris yang diwakili Governor-General di tingkat federal dan Gubernur di tingkat negara bagian.
India juga menerapkan federal parlementer dengan Presiden simbolik dan PM kuat. Kepala negara simbolik tidak memiliki peran eksekutif nyata, sementara PM menjalankan urusan pemerintahan sehari-hari. Negara bagian dipimpin Chief Minister yang bertanggung jawab pada legislatif negara bagian. Sistem ini menekankan pemisahan jelas antara simbolisme dan eksekutif.
Ethiopia menganut federal parlementer berbasis etnis, dengan PM kuat dan Presiden simbolik. Struktur federalnya memisahkan kekuasaan ke tingkat regional, tetapi keputusan strategis tetap dikendalikan PM. Sistem ini menekankan dominasi eksekutif pusat, berbeda dengan model kolektif Bosnia atau European Council.
Somalia menerapkan presiden tunggal dan PM yang diangkat olehnya, dengan parlemen yang relatif lemah. Sistem ini lebih mengandalkan kekuatan presiden dibandingkan konsensus kolektif, sehingga berbeda jauh dengan sistem rotasi atau kolektif.
Papua Nugini (PNG) memiliki sistem parlementer Westminster, dengan PM sebagai kepala pemerintahan dan Gubernur Jenderal sebagai wakil kepala negara. Negara bagian memiliki Premier masing-masing yang mengatur urusan lokal, mirip dengan model Australia. Sistem ini menekankan distribusi kekuasaan antara pusat dan provinsi secara parlementer.
Indonesia juga mengadopsi federal parlementer yang terpusat di tingkat nasional, meski bukan federal murni. Presiden Indonesia memegang kekuasaan eksekutif penuh dan kepala pemerintahan, sementara gubernur memimpin provinsi dengan otonomi terbatas. Tidak ada sistem rotasi simbolik seperti Malaysia, dan kekuasaan kolektif seperti Bosnia tidak diterapkan.
Jika dibandingkan, Bosnia paling mirip European Council dalam hal kepemimpinan kolektif yang bergilir dan fokus pada keputusan strategis. UEA lebih menekankan konsentrasi kekuasaan di tangan monarki elit, sementara Malaysia menekankan simbolisme rotasi tradisional.
Australia dan PNG menekankan model parlementer federal yang efisien, dengan pembagian jelas antara PM federal dan Premier atau kepala negara bagian/provinsi. Kedua sistem ini memungkinkan pengambilan keputusan lebih cepat dibanding Bosnia.
Ethiopia dan Somalia menonjolkan dominasi eksekutif pusat, sementara India menyeimbangkan simbolisme kepala negara dengan kekuasaan PM yang kuat. Indonesia menekankan pusat yang kuat dengan otonomi provinsi terbatas, tanpa kepemimpinan kolektif atau rotasi simbolik.
Kelebihan model kolektif dan rotasi terletak pada kemampuan menjaga stabilitas politik dan mencegah dominasi kelompok tunggal. Namun kelemahannya adalah proses pengambilan keputusan yang lambat dan ketergantungan pada konsensus atau kesepakatan elit.
Model federal parlementer seperti Australia, PNG, dan India lebih cepat dalam mengambil keputusan karena eksekutif jelas dan terpusat di PM. Kekurangannya, potensi konflik antara pusat dan negara bagian bisa muncul jika koordinasi buruk.
Sistem monarki rotasi di Malaysia dan federal monarki UEA berhasil menjaga legitimasi tradisional dan keseimbangan internal, tetapi efektifitas pemerintahan sangat bergantung pada elit dan hubungan pribadi antar penguasa.
Secara keseluruhan, sistem kolektif Bosnia dan European Council menekankan konsensus strategis, UEA dan Malaysia menekankan stabilitas monarki, Australia dan PNG menekankan eksekutif parlementer federal, sementara India, Ethiopia, Somalia, dan Indonesia menekankan kekuasaan eksekutif pusat dengan variasi simbolik di tingkat kepala negara.
Keempat model menunjukkan bahwa distribusi kekuasaan, baik melalui kolektif, rotasi, maupun federal parlementer, adalah kunci untuk menjaga stabilitas politik sesuai konteks masing-masing negara. Setiap sistem memiliki kompromi antara stabilitas, efektivitas, dan legitimasi.
Di era global saat ini, memahami perbedaan sistem pemerintahan menjadi penting untuk analisis geopolitik, pengambilan kebijakan internasional, dan kerja sama antarnegara, karena bentuk pemerintahan memengaruhi cara negara menanggapi konflik, pembangunan, dan diplomasi.


Tidak ada komentar
Posting Komentar