Skala Koordinasi Penanganan Bencana Aceh, Sumut dan Sumbar Melebihi Pulau Jawa

Skala koordinasi penanganan bencana di wilayah Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat kini menjadi sorotan nasional. Meski jumlah penduduk ketiga provinsi tersebut jauh lebih sedikit dibanding Pulau Jawa, kompleksitas wilayah dan medan membuat jangkauan koordinasinya dinilai melampaui seluruh Jawa.

Rentetan bencana alam yang terjadi hampir bersamaan di Aceh-Sumut-Sumbar memaksa pemerintah pusat dan daerah bekerja dalam ruang kendali yang sangat luas. Koordinasi tidak hanya lintas kabupaten dan kota, tetapi juga lintas provinsi dengan karakter wilayah yang sangat berbeda.

Secara geografis, wilayah Aceh hingga Sumatra Barat membentang memanjang di sisi barat Pulau Sumatra. Jarak antar titik bencana bisa mencapai ratusan kilometer, dengan kondisi alam yang tidak selalu memungkinkan akses cepat melalui jalur darat.

Berbeda dengan Pulau Jawa yang relatif padat dan saling terhubung, wilayah ini memiliki banyak daerah terpencil yang terpisah oleh pegunungan, lembah, dan kawasan hutan. Ketika satu ruas jalan terputus, wilayah di belakangnya dapat terisolasi total.

Topografi menjadi tantangan utama dalam koordinasi lapangan. Pegunungan Barisan yang membujur dari Aceh hingga Sumatra Barat menciptakan jalur sempit, lereng curam, dan kawasan rawan longsor yang menyulitkan pergerakan personel dan logistik.

Di banyak daerah, desa-desa hanya memiliki satu akses jalan utama. Ketika jalan tersebut tertutup material longsor atau banjir bandang, jalur evakuasi dan distribusi bantuan pun lumpuh dalam waktu lama.

Akses antarprovinsi juga tidak semulus di Jawa. Jalur Aceh menuju Sumatra Utara dan Sumatra Barat belum ditopang jaringan jalan berstandar tinggi seperti jalan tol yang terhubung langsung dari ujung ke ujung.

Kerusakan jalan, jembatan tunggal, serta medan berat membuat distribusi logistik berjalan lambat. Dalam kondisi tertentu, satu titik longsor saja dapat memutus hubungan antarprovinsi selama berjam-jam bahkan berhari-hari.

Sebaran bencana yang tidak merata menambah beban koordinasi. Di saat satu wilayah dilanda banjir besar, wilayah lain menghadapi longsor, sementara daerah pesisir mengalami banjir bandang atau abrasi.

Situasi ini memaksa BNPB dan BPBD mengelola berbagai jenis bencana sekaligus dalam satu waktu. Konsentrasi alat berat dan personel tidak bisa difokuskan di satu lokasi seperti yang sering dilakukan di Jawa.

Komando lapangan harus berpindah-pindah antar kabupaten dan provinsi. Setiap daerah membutuhkan pendekatan berbeda sesuai jenis bencana dan kondisi geografis setempat.

Di sejumlah wilayah, akses darat bahkan tidak memungkinkan sama sekali. Daerah pedalaman Aceh, Pegunungan Gayo, Tapanuli, Mentawai, hingga pesisir barat Sumatra Utara kerap hanya bisa dijangkau melalui udara atau laut.

Dalam kondisi darurat, helikopter dan kapal laut menjadi tulang punggung koordinasi dan distribusi bantuan. Hal ini membuat operasi penanganan jauh lebih kompleks dan mahal dibandingkan operasi darat.

Kendala komunikasi juga menjadi persoalan serius. Banyak titik bencana mengalami pemadaman listrik, runtuhnya BTS, dan hilangnya sinyal seluler dalam waktu lama.

Komunikasi satelit menjadi solusi, namun jumlahnya terbatas dan tidak selalu tersedia untuk seluruh wilayah terdampak. Akibatnya, arus informasi dari lapangan ke pusat komando sering terlambat.

Kondisi ini sangat kontras dengan Pulau Jawa yang memiliki infrastruktur komunikasi relatif merata dan cadangan jaringan yang lebih siap. Di Jawa, koordinasi antarwilayah dapat dilakukan dengan lebih cepat dan stabil.

Meski demikian, tantangan besar ini justru menunjukkan kapasitas koordinasi negara diuji pada skala yang lebih luas. Penanganan bencana Aceh-Sumut-Sumbar menuntut kerja terpadu lintas kementerian, TNI, Polri, relawan, dan pemerintah daerah.

Koordinasi tidak hanya bersifat vertikal dari pusat ke daerah, tetapi juga horizontal antarprovinsi yang memiliki kebutuhan dan kondisi lapangan berbeda-beda.

Dalam konteks ini, jangkauan koordinasi bencana di Aceh-Sumut-Sumbar kerap disamakan dengan penanganan bencana di satu pulau besar. Bahkan, sejumlah pihak menilai tingkat kesulitannya melebihi Jawa.

Wilayah yang panjang, akses terbatas, topografi ekstrem, dan komunikasi minim menjadi faktor utama yang memperberat operasi. Tantangan ini menjadikan penanganan bencana di barat Sumatra sebagai salah satu ujian terbesar bagi sistem kebencanaan nasional.

Skala koordinasi yang melampaui Pulau Jawa ini sekaligus menjadi pengingat bahwa kesiapsiagaan bencana di Indonesia tidak bisa diseragamkan. Setiap wilayah membutuhkan pendekatan berbeda, sesuai karakter alam dan infrastrukturnya.

Baca selanjutnya

Tidak ada komentar

Posting Komentar

Beranda