Ketika Swasta Indonesia Terjun ke Dunia Dirgantara

Pesawat Latih Jet Buatan Indonesia, Antara Ambisi dan Oportunis

Mengejutkan, ternyata pada akhir 1980-an dan awal 1990-an pernah ada proyek pembuatan pesawat latih jet di Indonesia yang dilakukan oleh perusahaan swasta.  Antara ambisi dan oportunis atau malah kedua-duanya?
Ini memang kisah nyata, walaupun informasinya tergolong sedikit dan agak misterius seperti hubungan admin dengan sang doi yang mana sekarang statusnya masih misterius tetapi Suharto yang berpulang bulan Agustus tahun lalu sempat menceritakan kisah ini kepada penulis. Sudah dikenal sebagai perancang pesawat, Suharto melepaskan pekerjaan di PT (Perseroan Terbatas) Chandra Dirgantara karena sudah tidak ada proyek lagi, lantas diajak bekerja di PT Cipta Restu Sarana Svaha, sebagai konsultan dan pimpinan teknik. Awalnya memang tidak langsung membuat pesawat latih jet, dimulai dari yang sederhana lebih dahulu, membangun pesawat swayasa berbahan komposit Grinvalds G-801/G-802 Orion asal Perancis.

Lewat kerjasama dengan perusahaan asal Houston, Texas, Aerodis America sebagai pelaksana produksi, alih teknologi ini berjalan. Orion sendiri merupakan pesawat swayasa berdesain unik, niatnya adalah mendesain pesawat bermesin piston baling-baling dengan operasional murah, namun serasa terbang dengan pesawat jet. Tidak mengherankan desain kabin dan badan pesawat berkapasitas empat orang itu mirip dengan pesawat eksekutif jet, dengan menempatkan mesin dan baling-balingnya di belakang (pusher).

Cutaway Grinvalds G-801/G-802 Orion yang menjadi basis Aerodis America AA200. Tampak mesin dipasang di belakang kabin, terhubung dengan baling-baling dengan batang panjang melalui gearbox.

Hanggar sekaligus pabrik Aerodis America di Houston, Texas. Dari tempat ini dihasilkan dua unit AA200 Orion. 

Sayap Orion lurus meruncing di ujung (tapered) dengan horizontal stabilizer ada di ujung atas rudder (T-tail). Di ekor bawah dipasang tail dumper, mencegah agar baling-baling tidak menyerempet landasan pacu. Dengan mesin Textron Lycoming O-360 varian bertenaga 180 hp atau 200 hp (horsepower/tenaga kuda) dan modifikasi lainnya, Orion versi Amerika Serikat ini disebut AA200 Orion.

PT Cipta Restu Sarana Svaha lewat pinjaman dari Bank Bapindo (Bank Pembangunan Indonesia) menginvestasikan sekitar Rp18 juta (kurs US$1 waktu itu sekitar Rp2.000,00) untuk mewujudkannya. Selain Bapindo, Suharto menyebut keterlibatan mantan KSAU (Kepala Staf Angkatan Udara) Marsekal Purn. Ashadi Tjahjadi dalam proyek ini dengan menempatkan salah satu anaknya di perusahaan itu. Maka berangkatlah Suharto ke Texas pada tahun 1988 sebagai perwakilan perusahaan sekaligus belajar teknologi komposit yang masih cukup baru selama kurang lebih setahun.

Di mata Suharto, Orion memiliki desain yang cantik,tapi kecantikan ORION masih belum bisa mengalahkan kecantikan si pujaan hati 😁😁, tipikal desain asal Perancis yang memadukan fungsi dan seni. Namun dibalik itu banyak kelemahan, misalnya saja bagian lantai di kabin penumpang yang dianggap terlalu tipis dan kurang kokoh. Roda pesawat tidak dibentuk secara sederhana agar lebih kuat sekuat cintaku padanya dan mudah diproduksi. Kritik lainnya pada desain T-tail yang membuat konstruksi ekor menjadi lebih berat dan rumit seperti hubungan ini yang terlalu rumit untuk di jelaskan 😁😁

Kritik yang paling utama tentunya pada mesin dan baling-baling yang ditempatkan di bagian belakang. Dengan penempatan itu, mesin menjadi lebih panas, walaupun ada air intake namun lubang salurannya tergolong kecil, tidak efektif mengurangi panas. Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa baling-baling tidak terhubung langsung dengan poros mesin, melainkan lewat semacam gearbox. Baling-baling itu juga terpasang di batang panjang sampai ke ujung sehingga membuat efisensi putarannya kurang baik dan tidak sinkron dengan mesin. Boleh jadi rpm (radius per minute) pada mesin mencapai 3.000 rpm sedangkan putaran baling-baling lebih pelan, kurang dari 2.000 rpm. Dengan baling-baling yang terletak di belakang, jangan harap pesawat ini mampu lepas landas dan mendarat di landasan pacu pendek. 

Ditambah lagi penggunaan bahan komposit yang meliputi hampir seluruh badan dan sayap pesawat seperti karya pesawat swayasa ala Burt Rutan, Suharto menilai bahan ini lebih kokoh, ringan, dan mulus (aerodinamis) daripada alumunium, namun lebih sulit diperbaiki bila mengalami kerusakan, beda dengan alumunium yang cukup hanya diganti kulit luar alumuniumnya dengan memasang paku keling (rivet). Sedangkan komposit harus dibentuk ulang oleh pekerja berketerampilan khusus dengan bahan yang waktu itu masih relatif mahal. Intinya Orion tidak begitu cocok diproduksi massal dibandingkan pesawat swayasa konvensional, lebih rumit dan mahal dalam pengoperasian, perawatan, dan menerbangkannya. Kenyataannya demikian, populasinya hanya sekitar 17 unit  dengan versi pengembangannya masing-masing.

Namun dibalik itu, setelah Aerodis America berhasil membangun dan menerbangkan AA200 sebanyak dua unit, pesawat ini ternyata menjadi batu loncatan ambisi berikutnya, mendesain dan membangun pesawat latih jet. Desainnya tinggal diubah sedikit, kabin penumpang menjadi kokpit bertempat duduk tandem, sedangkan mesin piston diganti dengan mesin turbofans berukuran kecil, Garrett TFE109-3. Namun karena daya dorongnya tergolong kecil sekitar 5,9 kN (kilo Newton), digantikan dengan Williams International FJ44 berdaya dorong mencapai 8,5–9,3 kN.

Sebagai catatan, mengubah pesawat bermesin piston menjadi pesawat jet memang bukan barang baru. Pasca berakhirnya Perang Dunia II, beberapa tipe berhasil dibuat dan dioperasikan, seperti Saab 21R (dari Saab 21) dan Yakovlev Yak-15 (dari Yak-3). Aerodis Amerika ingin mengulanginya lagi lewat proyek yang disebut AA300 Rigel, pesawat latih jet berteknologi komposit pertama yang ada di dunia.

Apa alasan Aerodis America begitu bernafsu mengembangan pesawat latih jet ini? Ternyata ada kaitannya dengan proyek pengadaan pesawat latih gabungan USAF (United States Air Force) dan US Navy dengan nama JPATS (Joint Primary Aircraft Training System). Proyek ini sudah dihembuskan isunya pada pertengahan 1980-an untuk regenerasi pesawat latih mula Cessna T-37 Dragonfly dan Beechcraft T-34C Mentor.

JPATS membuka seluas-luasnya peluang produsen pesawat latih untuk memenangkan proyek ini, tidak terbatas dari Amerika Serikat saja tapi juga dari seluruh dunia, dan tidak hanya perusahaan besar, perusahaan kecil juga diperbolehkan ikut, selama memenuhi persyaratan. Dengan nilai kontrak pembelian begitu besar, tidak heran Aerodis America sangat tergiur. AA300 yang masih berupa konsep di atas kertas dipromosikan ke mana-mana termasuk derivatifnya AA330 Theta, versi pesawat serang darat. Selain untuk mengenalkan Aerodis America dan produk-produk yang dihasilkannya ke publik, tujuan lainnya adalah mencari investor tambahan. Promosi ini bahkan sampai membuka stan di Paris Airshow 1989 dan menarik perhatian dari negara-negara yang selalu siap perang dan membutuhkan pesawat latih dalam jumlah banyak seperti Taiwan dan Israel.
Oportunis sekali, Suharto menilai Aerodis America memanfaatkan PT Cipta Restu Sarana Svaha dan modal dari Indonesia untuk mencapai ambisinya. Berdasarkan pengalaman mendesain pesawat, Suharto memiliki rancangan berbeda dari AA200, dituangkan dalam konsep CS(Composite Suharto)500, namun ditolak. Terakhir menurut pengakuannya karena dianggap “terlalu ahli” di bidang seluk-beluk penerbangan, malah dipecat dengan alasan yang mengada-ada. Di tengah intrik inilah, kisah pembuatan pesawat latih jet di Indonesia menjadi tidak jelas. Sebelum diberhentikan, Suharto sempat menyaksikan sendiri satu unit mesin Williams Internasional dikirim ke Batam, dipinjamkan untuk tujuan desain dan pengukuran.

Promosi Aerodis America untuk mendapatkan investor tambahan tidak berhasil dan akhirnya memang tidak bisa mewujudkan AA200 dan AA330 bahkan sampai setaraf prototipe sekalipun. JPATS sendiri pada tahun 1995 memilih pesawat latih turboprop buatan Swiss, Pilatus PC-9 yang dikembangkan oleh Beechcraft/Raytheon menjadi T-6 Texan II. Berakhirnya JPATS, praktis berakhir pula Aerodis America dan PT Cipta Restu Sarana Svaha. Sama seperti kasus proyek pesawat komuter XT-400, walaupun tidak bisa mewujudkan pesawat latih jet, setidaknya ilmu dan pengalaman manufaktur komposit dimanfaatkan oleh Suharto untuk proyek berikutnya, membangun prototipe hovercraft versi sport berkapasitas dua orang dan versi penumpang berkapasitas 20 orang. 

Sumber : (Aviahistoria.com, Sejarah Penerbangan Indonesia)

Tidak ada komentar

Posting Komentar

Beranda